RPP PENGGENDALIAN KERUSAKKAN EKOSISTEM GAMBUT

 

RPP PENGGENDALIAN KERUSAKKAN EKOSISTEM GAMBUT

(Dilema Kebutuhan Produksi dan Lingkungan)

Oleh

Ach. Rozani

(KOMUNITAS SUMPIT)

Alam mengajarkan kepada manusia agar hidup mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan alam. sepanjang sejarah kehidupan manusia pada dasarnya merupakan catatan upaya menaklukkan alam. penaklukkan alam yang sifatnya eksploratif  dan eksploitatif tanpa memperhatikan kaidah-kaidah alam ternyata harus dibayar mahal karena memerlukan energi dan dana besar dalam pemulihannya. adanya kecenderungan ekploitas sumber daya yang tidak memperhatikan prinsip konservasi dan preservasi telah terjadi dibelahan dunia khusus nya di negara berkembang.

Deputi Bidang peningkatan konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakkan lingkungan hidup menyatakan RPP (rencana Pertauran Pemerintah) itu memperketat pemanfaatan gambut. Peraturan itu mempertahankan dan memperkuat PP No. 26 tahun 2008 RTR Wilayah Nasional yang menggolongkan lahan gambut berkedalaman lebih dari 3 meter sebagai kawasan lindung nasional. RPP ini menambahkan Kawasan gambut  harus di konservasi yakni kubah Gambut.

Rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pengendalian kerusakan ekosistem gambut yang memasuki tahap akhir pembahasan terus menjadi polemik dari berbagai kalangan aktivis, pemerhati, dan akademisi lingkungan di karenakan banyak hal yang di pandang terjadi sebuah ambivalensi yang dimana di satu sisi secara filosofis hukumnya berisikan semangat untuk melindungi gambut namun di sisi yang lain ada legalisasi yakni menggolongkan lahan gambut yang kedalamannya kurang dari 3 meter dan bukan berupa kubah gambut sebagai Kawasan Budidaya Gambut (KBG) dan peruntukkan nya boleh Pasal 16 Ayat 1 RPP itu menyatakan, KBG bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan, permukiman, pertambangan, transmigrasi, ekowisata, atau infrastruktur.  Tata cara pemanfaatan KBG gambut itu diatur Pasal 16 Ayat 2 yang mewajibkan pengendalian muka air, pencegahan oksidasi lapisan pirit, pencegahan tersingkapnya lapisan kuarsa, dan penaatan baku kerusakan KBG. Pengguna KBG diwajibkan mencadangkan sedikitnya 30 persen lahan gambut untuk dikembalikan ke kondisi asli.  Menurut direktur Wetland International Indonesia (WII), Pengelupasan kulit gambut 15 cm saja bisa menghasilkan karbon 5 ton emisi karbon/h. Indonesia sendiri menargetkan penurunan emisi 26 persen pada 2020. Bentuk keseleo berpikir dalam melihat gambut ketika suatu hamparan lahan gambut tak memiliki Kubah Gambut maka boleh di manfaatkan dengan mudah tanpa sebuah kehati-hatian seharusnya Gambut dengan atau tanpa kubah gambut harus di hargai dan berhati-hati dalam pengelolaan dan pemanfaatnya. 

Pada tahun 2002 penduduk Indonesia berjumlah 217 juta dan pada tahun 2050 diproyeksikan bertambah menjadi 318 juta dan Luas lahan di Indonesia keseluruhan berjumlah 162,4 juta ha. Data WII menyebutkan luas gambut di Indonesia 20,6 juta Hektar dengan distribusi luasan yakni Sumatera 7,2 juta h, Kalimantan 5,8 juta h, dan sebagian papua 7,97 juta h.  Lahan Basah (wetlands) menurut konvensi Ramsar, dapat diartikan sebagai lahan basah yang secara alami atau buatan selalu tergenang, baik secara terus-menerus ataupun musiman, dengan air yang diam ataupun mengalir. Air yang menggenangi lahan basah dapat berupa air tawar, payau dan asin. Tinggi muka air laut yang menggenangi lahan basah yang terdapat di pinggir laut tidak lebih dari 6 meter pada kondisi surut. Lahan basah yang salah satunya lahan bergambut Gambut mengandung unsur mineral  < 35%. 

Dalam RPP ini ada sebuah alasan yang logis yang di tangkap bahwa itu semua di lakukan untuk menjawab kebutuhan dari dinamika kehidupan manusia akan kebutuhannya. kebutuhan manusia terhadap tanah terutama untuk menjadi pemukiman dan budidaya pertanian akan menjadi sebuah keniscayaan. tanah gambut yang di indentifikasikan sebagai tanah marjinal dalam konteks pertanian menjadi sebuah alernatif yang menjadi keniscayaan untuk menjawab kebutuhan itu atau persepsi lain, pemanfaatan gambut di karenakan rusaknya hutan yang  mengubah karakterirtik fisik lahan kering yang pada gilirannya mempengaruhi pula siklus hidrologis dan biologis kearah degradasi lahan sehingga Lahan basah jadi alternatif lain untuk di manfaatkan.

Dalam RPP ini nampaknya lebih berpihak kepada kebutuhan perusahaan besar dari pada rakyat kecil padahal konflik perkebunan dan pertambangan sudah terlalu banyak.  RPP ini seolah – olah ingin mencover kebutuhan Perkebunan sawit di daerah lahan basah, yang saat ini perkebunan sawit menjadi primadona untuk pendapatan negara maupun pendapatan daerah.   Menurut catatan Sawit Watch menemukan sekitar  348 perusahaan kelapa sawit dengan luas rata-rata  3.149,3 Ha setiap perusahaan. Imbasnya, Indonesia telah menanam 7.5 juta ha lahan dengan sawit yang menghasilkan sekitar 19 juta ton CPO. Namun, pembangunan ekonomi yang hebat ini mengakibatkan 576 konflik lahan di 16 propinsi dari 23 propinsi yang mengembangkan kelapa sawit di Indonesia  Dalam Catatan akhir Tahun walhi kalsel 2009 Perluasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan saat ini lebih di arahkan ke daerah rawa. Hampir semua wilayah kabupaten yang memiliki wilayah rawa tidak terlepas dari ekpansi perkebunan sawit, mulai Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan Kabupaten Tabalong.  Dinas Perkebunan Kalsel potensi perkebunan Kelapa Sawit di Kalsel mencapai 1,1 juta hektar, sudah digunakan 400 ribu Ha dan rencannya akan melakukan membuka perkebunan sawit baru sampai dengan 700 ribu Ha yang merupakan lahan tidur. Di lahan tersebut berdasarkan peta landcover 2000 merupakan kawasan pemukiman, lahan pertanian basah dan tadah hujan, lahan perkebunan masyarakat dan penggunaan lainnya berbasis masyarakat. Dari 1,1 juta Ha tersebut ada 349.666 Ha yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Propinsi. Belum lagi jika di kurang kawasan masyarakat Adat maka perluasan perkebunan Sawit sudah sangat tidak mungkin lagi. Sehingga kebijakan perluasan sawit yang direncanakan hanyalah akan mengancam Ekosistem rawa, keberadaan hutan dan kawasan kelola rakyat Serta Konflik Sosial contoh tahun 2009  Astra Agro Lestari Tbk melalui anak perusahaannya PT. Subur Agro Makmur yang terletak di kecamatan Daha Barat dan Daha Selatan serta Daha Utara yang melakukan ekspansi namun terjadi penolakkan oleh masyarakat yang berujung pada pembakaran alat berat milik perusahaan oleh masyarakat.

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN KEARIFAN LOKAL MENGHARGAI GAMBUT

Pandangan sederhana dalam pembangunan berkelanjutan (SD) merupakan hasil resultan dari pembangunan sosial dan ekonomi (ESD) di tambah dengan ekologi yg berkelanjutan (SE).

Tom dale dan Vernon gill carter dlm buku Topsoil and Civilization menyatakan bahwa manusia beradab hampir selalu berhasil menguasai lingkungan hidupnya untuk sementara waktu. Kesulitan yg dihadapinya bersumber pada pikirannya bahwa kekuasaan yang bersifat sementara ini dikiranya abadi, padahal dia tak mampu mengetahui hukum alam sepenuhnya. Manusian baik yg beradab ataupun biadab adalah anak alam, bukan tuan yang menguasai alam. jika dia (manusia) mau mempertahankan kekuasaanyan atas lingkungan hidupnya maka haruslah menyesuaikan diri pada hukum-hukum alam tertentu. Jika manusia mengelakkan hukum alam, lingkungan hidupnya akan hancur. jika lingkungan merosot maka peradabannya pun akan hancur. Garis besar sejarah manusia adalah perjalanan manusia beradab di permukaan bumi dan meninggalkan padang pasir di jejak kakinya.

Gambut yang merupakan lahan basah memiliki fungsi, yakni ; 1). Sebagai pengontrol kualitas air, di mana lahan basah sebagai kawasan strategis yang memisahkan ekosistem daratan (Teresterial) dengan ekosistem Air (Akuatik), sehingga dalam posisinya ini lahan basah dapat mencegah air larian dari daratan dan menyaring bahan polutan dan sedimen sebelum masuk ke badan air. 2). Sebagai pengisi air tanah, terutama dijalankan oleh dataran banjir, rawa air tanah, danau, lahan gambut, dan hutan rawa. Peran ini tidak hanya terbatas pada pengisian air tanah saja, tapi juga sekaligus menjadi tempat pelepasan air tanah sebelum menuju ke badan air (sungai permukaan). Antara kedua fungsi ini, perlu adanya keseimbangan dalam mekanismenya.  3). Sebagai habitat ikan dan organisme liar (wildlife) Karena Menurut Balai Penelitian Tanah (Balitra) Lahan Basah kaya  keanekaragam hayati untuk genetik. 4). sebagai pengontrol abrasi bibir pantai & tepian sungai.

Gambut dalam Kearifan lokal pemanfaatan rawa lebak oleh orang Banjar hampir lebih 100 tahun dengan komoditi tanaman pangan dan hortikultura terutama  padi. Dimana ini adalah pangan pokok orang banjar dan pada bangunan rumah pun kearifan lokal dalam menghargai rawa gambut dapat kita temukan dengan tipe rumah panggung dan lanting – lanting yang dimana hal ini tujuan tentu tidak untuk merusak tekstur dan struktur dari tanah rawa gambut.

Gambut yang ketika musim hujan menjadi tergenang dan ketika musim kering sangat kering dan menyebakan mudah terbakar Sehingga jika boleh jujur seolah-olah kearifan lokal mengajarkan salah satu kunci penting dalam mengelola lahan basah gambut adalah hidrologi/tata air yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup.  dimana ada fungsi produksi dan fungsi lingkungan.  bahwa lahan basah gambut di manfaatkan dalam pertanian skala kecil yg dimana di peruntukkan untuk kebutuhan pangan sehari-hari tanpa melakukan modifikasi struktur dan tekstur gambut kearah eksploitasi  yang menyebabkan bencana oleh keteledoran manusia karena mencoba menaklukkan alam Sehingga Pertanyaan Renungan mendalam harus kah peningkatan pertumbuhan Ekonomi manari diatas Pengorbanan kondisi lingkungan yang sudah begitu parah

Tinggalkan komentar